Minggu, 08 April 2018

Curhatan Pengajar Bimbel..


"Neng, coba dihitung 7x8 berapa ya?"
"...", 
Pandangannya mencoba menghindari mataku.
"Yaudah, kalo gitu 5x5 berapa?"
"...",
Lagi lagi hening. Kali ini disertai senyum manis, yang tepat menampakkan ketidaktahuannya akan jawaban dari pertanyaanku.
"Heem.. kalau gitu neng hafalnya sampe perkalian berapa?"
"Perkalian satu dan dua", jawabnya.
Aku hanya takjub dan dalam hati sedih mendengar pengakuan itu dari seorang murid kelas 6.

Itu adalah sepenggal ilustrasi dialog keseharian sebagai seorang pengajar bimbel full time. Dengan waktu yang terbatas, orangtua berharap perubahan yang banyak pada pola belajar anaknya setelah mulai ikut bimbel. Ironis benar kan? Padahal sang anak lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah dan di sekolah, bukan di bimbel. Tapi, beginilah realitanya.

Bagi saya, menjadi guru bimbel bukan berarti ingin menyaingi guru di sekolah. Justru sebenarnya tugas kami adalah membantu guru-guru di sekolah. Pengajar bimbel memastikan anak-anak paham segala pembelajaran yang telah diterimanya dari sang guru formalnya.

Kami juga ikut bahagia saat mereka bercerita tentang nilai ujiannya yang bagus. Ataupun melihat nilai yang memuaskan dari soal latihan di sekolah. Jujur, kami ikut bangga. Merasa jerih payah mengajari ataupun meluruskan pemahaman yang keliru pada sang anak didik telah berhasil. Tabarakallah. Alhamdulillah.

Tak hanya saat ada kabar baik, ketika ada kekeliruan yang didapati anak di sekolah akibat pembelajaran di bimbel, kami pun juga kaget, sedih dan merasa bersalah. Kami juga ingin membantu anak dengan kemampuan belajar yang lemah bisa kembali bersemangat mendalami pelajaran sebagaimana teman-temannya secara umum.

Namun, begitulah penyedia jasa. Ukuran berhasilnya adalah apakah jasanya telah cocok dengan kualitas yang distandarkan oleh konsumen. Jika iya, maka kepercayaan kepada Bimbel dan pengajar akan terus meningkat. Namun jika tidak, satu per satu buah bibir tentang buruknya kualitas jasa tersebut akan diketahui publik. Mau tak mau mereka yang mengandalkan jasa bimbel merasa berhak menuntut perbaikan pada pola belajar anak didiknya meski intensitas pertemuan bimbel yang terbatas.

Sebagai manusia tugas kita adalah berusaha. Hasilnya, biar kita serahkan pada Allah. Kita cukup terus berupaya dengan mastatho'tum (optimal) merencanakan segala langkah yang akan kita tempuh. Terbuka terhadap saran dan inovasi demi perbaikan diri. Meski gerak terbatas, terbukti banyak yang sudah bisa menghadirkan hasil terbaik. Maka jangan mau kalah. Bismillah optimalkan potensi terbaik kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar