Kamis, 26 April 2018

Ngambeknya Anak-anak itu Sesuatu Banget..


Berlatih mendidik anak bisa juga ya dengan jadi seorang pengajar bimbel. Menghadapi marahnya sang anak karena ga mau dibilang salah, atau karena mereka yang merasa ga bisa saat dikasih soal latihan untuk dikerjakan. Khasnya anak-anak, jika kecewa mereka lebih sering menangis/ merengek , meskipun usianya bukan lagi TK ataupun SD Kelas 1.

Ngambek itu kayaknya hak segala pribadi, org dewasa pun juga bisa ngambek. Tapi, anehnya anak-anak itu marahnya cepat selesai, meski kita yang lebih dewasa masih berlarut bapernya 😂. Emang aneh ya emosi anak-anak. Kadang mereka dengan jelas merekam di dalam memorinya kemarahan orang dewasa kepada mereka, namun dengan mudahnya mereka lupa akan tingkah marah/ ngambeknya mereka.

Namanya juga belum matang akal nya, jadi masih tanpa beban melakukan segala hal. Harusnya sih ya, kita yang dewasa lebih banyak mengalah dan memahami mereka, bukan malah ikutan baper dan capek sendiri -karena pengen marah ke mereka tapi ga boleh 😧. (Ini lagi ngaca dan nasehatin diri banget)

Sempat membaca di suatu buku, anak-anak yang suka ngambek itu perlu dibantu untuk menjelaskan emosi apa yang sedang dirasakan. Tanyakan apakah mereka sedang merasa kesal? Sedih? Atau sedang merasa bingung dan takut? Biar mereka paham, cara mengekspresikan emosi yang sedang mereka rasakan. Jika cara mereka mengungkapkan perasaan tersebut bukanlah cara yang tepat- semisal melempar barang, berteriak atau diam yang berlarut-larut, sampaikan rasa kurang suka kita sebagai orang dewasa terhadap sikap tersebut dan berharap di kesempatan selanjutnya ia akan bersikap lebih baik. Tentunya diakhiri dengan senyum tulus menginginkan kebaikan bagi mereka atas nasehat itu.

Meskipun diri ini pribadi belum bisa mengakhiri dialog 'kejujuran' itu dengan senyum dan mimik wajah apresiasi yang tepat. 😟 sesuatu banget.

Bersikap terhadap anak orang lain saja sulit, apalagi bersikap terhadap anak sendiri ya nantinya. Nggak boleh terlalu memanjakan, namun tetap harus bisa jadi tempat ternyaman mereka berbagi segala cerita.

Minggu, 08 April 2018

Mencari Barokah bukan Pamer Izzah Saat Kajian


Kajian keislaman jika dihadiri sama ibu-ibu, bapak-bapak, nenek-nenek dan kakek-kakek itu hal yang biasa ya. Yah secara logika usia-usia beliaulah seorang manusia sudah mencapai kematangan berpikir karena pengalaman hidup. Dan pas kisaran umur tersebut lumrah anggapan terkait semakin menipisnya jatah usia, semakin dekat dengan ajal.

Nah yang luar biasa itu, lihat kajian keislaman yang dihadirinya oleh pemuda. MasyaAllah. Udah 'lurus' di usia semuda itu kan waw banget. Di saat yang muda lainnya sedang condong bersenang-senang menikmati kebebasan setelah beranjak dari fase sebagai anak-anak menuju remaja-dewasa, pemuda-pemuda tersebut memilih kegiatan yang lebih mendekatkan dirinya dengan Tuhan Sang Penciptanya.

Kejadian itu baru saja saya alami pagi tadi (8/4). Hadir di kajian Islami khusus Pemuda Bekasi dengan Ustadz Hanan Attaki sebagai narasumber. Kurang lebih panitia menginfokan ada 6.000 peserta hadir, di acara subuh berjama'ah yang dilanjut kajian setelahnya tersebut. Waw banget lihat begitu banyak pemuda yang antusias terhadap ilmu akhirat.

Dari sekian nasihat yang beliau bagikan di moment itu, ada satu yang paling berkesan. Saat beliau secara halus menegur kebiasaan jaman millenial yang jauh-jauh hadir kajian karena ingin selfie dengan pembicaranya, bukan fokus pada kebarokahan menuntut ilmunya .

Sebelumnya, beliau mencerikan tentang kisah seorang pemuda yang berguru pada seorang ulama bernama Hasan Al-Bashri (CMIIW). Diceritakan, rumah beliau berjarak sangat amat jauh dari kediaman sang ulama tersebut. Sesampainya bertemu dengan sang Ulama, pemuda ini diberikan 1 nasihat. "Batalkanlah jual beli yang merugikan 1 orang meski yang sembilan lainnya untung." Sebelum berpisah dengan sang ulama, ia meminta beliau untuk bersedia mendoakan dirinya. Hasan Al-Bashri pun mendoakan pemuda ini dan selepas itu pulanglah ia ke daerah asalnya.

Bagi para salafush sholeh, kebiasaan yang erat saat menghadiri majelis ilmu adalah meminta doa para ulama pada zamannya untuk kebaikan dirinya di masa depan. Dan mereka tidak kecewa meski telah menempuh jarak sangat jauh untuk bertemu sang Ulama, namun hanya mendapat sedikit nasihat. Beda ya dengan generasi masa kini, dikit-dikit update foto saat ikut kajian, dikit-dikit selfie dengan pembicara. Duh! Kayanya akan nyesel banget gitu kalo pergi kajian belum ada bukti foto dan update medsosnya. Padahal mestinya yang lebih berbekas di hati dan ingatan kita adalah ilmunya daripada sekedar foto dengan sang pembicara.
Astaghfirullah.

Semoga, kita tersadar dan tidak ikut arus yang mendorong diri ini lebih sibuk kepada hal yang remeh temeh, seperti banyak selfie saat kajian dan bisa lebih fokus pada hal yang esensi ketika beramal sholeh semisal mengejar barokah menuntut ilmu. Aamiin.

*baru sadar, saat ikut kajian ini terlalu terkesima bisa lihat live ustadz hanan, sampe lupa buat nyatet isi kajiannya. Jangan ditiru yaa~ sekeren apapun sang narasumber tetap biasakan mengikat ilmu dengan mencatat ya. 😆 (Sambil penasaran, nyari-nyari rekaman di youtube ceramah kemarin) *

Curhatan Pengajar Bimbel..


"Neng, coba dihitung 7x8 berapa ya?"
"...", 
Pandangannya mencoba menghindari mataku.
"Yaudah, kalo gitu 5x5 berapa?"
"...",
Lagi lagi hening. Kali ini disertai senyum manis, yang tepat menampakkan ketidaktahuannya akan jawaban dari pertanyaanku.
"Heem.. kalau gitu neng hafalnya sampe perkalian berapa?"
"Perkalian satu dan dua", jawabnya.
Aku hanya takjub dan dalam hati sedih mendengar pengakuan itu dari seorang murid kelas 6.

Itu adalah sepenggal ilustrasi dialog keseharian sebagai seorang pengajar bimbel full time. Dengan waktu yang terbatas, orangtua berharap perubahan yang banyak pada pola belajar anaknya setelah mulai ikut bimbel. Ironis benar kan? Padahal sang anak lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah dan di sekolah, bukan di bimbel. Tapi, beginilah realitanya.

Bagi saya, menjadi guru bimbel bukan berarti ingin menyaingi guru di sekolah. Justru sebenarnya tugas kami adalah membantu guru-guru di sekolah. Pengajar bimbel memastikan anak-anak paham segala pembelajaran yang telah diterimanya dari sang guru formalnya.

Kami juga ikut bahagia saat mereka bercerita tentang nilai ujiannya yang bagus. Ataupun melihat nilai yang memuaskan dari soal latihan di sekolah. Jujur, kami ikut bangga. Merasa jerih payah mengajari ataupun meluruskan pemahaman yang keliru pada sang anak didik telah berhasil. Tabarakallah. Alhamdulillah.

Tak hanya saat ada kabar baik, ketika ada kekeliruan yang didapati anak di sekolah akibat pembelajaran di bimbel, kami pun juga kaget, sedih dan merasa bersalah. Kami juga ingin membantu anak dengan kemampuan belajar yang lemah bisa kembali bersemangat mendalami pelajaran sebagaimana teman-temannya secara umum.

Namun, begitulah penyedia jasa. Ukuran berhasilnya adalah apakah jasanya telah cocok dengan kualitas yang distandarkan oleh konsumen. Jika iya, maka kepercayaan kepada Bimbel dan pengajar akan terus meningkat. Namun jika tidak, satu per satu buah bibir tentang buruknya kualitas jasa tersebut akan diketahui publik. Mau tak mau mereka yang mengandalkan jasa bimbel merasa berhak menuntut perbaikan pada pola belajar anak didiknya meski intensitas pertemuan bimbel yang terbatas.

Sebagai manusia tugas kita adalah berusaha. Hasilnya, biar kita serahkan pada Allah. Kita cukup terus berupaya dengan mastatho'tum (optimal) merencanakan segala langkah yang akan kita tempuh. Terbuka terhadap saran dan inovasi demi perbaikan diri. Meski gerak terbatas, terbukti banyak yang sudah bisa menghadirkan hasil terbaik. Maka jangan mau kalah. Bismillah optimalkan potensi terbaik kita.

Kebaikan itu Saling Berkaitan..

Hampir satu bulan tidak menulis.
Kenapa?
Bingung menjawabnya.
Satu bulan ini rasanya belum ada yang membuat hati gelisah, sehingga mood menulis belum muncul.

Padahal kata bapak koor, menulis itu perlu diasah bahkan kadang perlu dipaksa (dituntut). Agar kita terbiasa menulis dan ga lagi tergantung mood saat menulis (jika memang menulis adalah pekerjaan yang paling kita sukai).

Lagi bener-bener merenung lho, kenapa ya lagi ga semangat nulis? Padahal diri ini telah meyakini bahwa menulis adalah kegiatan paling favorit.

Apa semua terlaksananya kegiatan kebaikan itu saling terkait ya? Termasuk menulis dan beribadah. Adakah mereka berdua saling berkaitan? Nah! Ini sepertinya penyebab kegalauan tadi. Memang akhir-akhir ini jadwal tilawah agak tercecer, ditandai mulainya terasa goyah konsistensi baca quran harian diri ini. Makanya segala perenungan yang biasa dilakukan, jadi terlewat begitu saja. Hikmah yang harusnya bisa diikat dalam bentuk tulisan, jadi lenyap bersama menit dan detik yang berlalu.

Malu.
Iya.
Karena merasa ada kemunduran, saya merasa malu.
Malu sama diri sendiri, terlebih sama Allah.

Makanya akhirnya saya memperbaiki kelalaian itu. Dengan memberanikan diri meminta nasihat orang terdekat tentang masalah ini, saya berharap bisa berhasil  memantik lagi semangat tarbiyah dzatiyah saya yang mulai meredup. Alhamdulillah itu cukup memberi pengaruh. Diri ini jadi tersadar dengan jelas bahwa persepsi maklum kita sudah kelewat batas, dan kita perlu lagi kembali ke jalan yang benar. 

Perlu lho saat sedang melemah, kita meminta bantuan 'bangkit' seperti di atas dari orang lain. Dengan maksud untuk menyegarkan segala kepenatan dan menyadarkan diri kita agar kembali 'lurus'. Dan yakinilah bahwa satu niat kebaikan akan menghantarkan kita pada kebaikan yang lainnya lagi. Jadi jangan ragu lagi untuk mewujudkan peluang dan niat kebaikan yang muncul.

Wallahua'lam