Kamis, 18 Januari 2018

Haruskah Aksi 212 vs Politik Praktis?

Sempat beredar tulisan tentang perwakilan ormas yang keberatan dan merasa adanya penggiringan opini politik umat seiring diadakannya reuni alumni 212.

http://m.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2018/01/13/132970/pp-pemuda-muhammadiyah-minta-alumni-212-tidak-masuk-politik-praktis.html

Beliau merasa dipolitisisasi ketulusannya bergabung bersama umat, ketika terjadi kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok mendekati Pemilu Gubernur Jakarta 2016 silam.



Dimana yang dimaksud dengan mempolitisasi pada pernyataan tersebut adalah dikarenakannya agenda Reuni Alumni 212 yang dianggap tidak lagi relevan dengan kondisi saat ini (sudah tidak ada penista agama yg perlu ditindak oleh umat).

Selain keluhan tersebut juga muncul polemik, dimana terdapat pernyataan Sekjen FUI (Forum Umat Islam)  yang merekomendasikan calon kepala daerah tertentu kepada partai politik peserta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), lihat link berikut

https://m.kumparan.com/@kumparannews/al-khaththath-usul-la-nyalla-diusung-di-jatim-tapi-ditolak-gerindra

Dimana ternyata hal ini dinilai sbg klaim sepihak, bukan pernyataan resmi FUI.

https://m.cnnindonesia.com/nasional/20180114004619-32-268672/tepis-al-khaththath-alumni-212-klaim-tak-main-pilkada-2018

Jika perjuangan ini dirasa sudah cukup hanya dibatasi oleh relevansi kondisi terkini sangat disayangkan. Betapa sia-sia momentum Umat Islam bersatu, berhenti hanya pada kasus penistaan agama tersebut. Bukankah Umat Islam, sebagai umat beragama terbesar di Indonesia,  berhak memberikan efek kebaikan bagi Bangsa Indonesia lebih besar lagi?

Merasa tidak perlu adanya refleksi terhadap pilihan politik di pilkada mendatang setelah kejadian penistaan agama oleh kepala daerah tersebut, merupakan kelalaian yang wajib dihindari. Demi menghindari oknum kepala daerah yang berlawanan dengan kepentingan umat.

Berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan bagi mereka yang merasa peduli akan Umat Islam, terlebih untuk simpatisan dan 'alumni' Aksi Damai 212,

Pertama,
Perlu dipahami lagi bahwa sebagai seorang muslim sudah sepantasnya kita belajar dari kesalahan masa lalu. Kita perlu melihat sumber inti permasalahan dari peristiwa penistaan agama di kepulauan seribu silam. Karena penisataan dilakukan oleh oknum yg juga merupakan kepala daerah, yang mengusik urusan Aqidah Umat Islam.

Maka sudah sepantasnya perlu ada refleksi dan pembelajaran atas kejadian tersebut.  Harus ada perubahan cara pandangan politik umat Islam ke depannya (terkait memilih kepala daerah). Dan pembelajaran ini harus nya menegaskan, sebagai seorang muslim tak boleh lagi acuh dengan agenda pemilihan pemimpin di masing-masing tingkatan daerahnya.


Kedua,
Sudah sepatutnya kita tak lagi risih mendengarkan ulama ataupun ustadz/ah yang dalam kajian keislamannya menyinggung pentingnya memilih pemimpin. Islam jelas membahas betapa pentingnya memilih pemimpin, terutama memilih mereka yang mendukung kepentingan Islam dan umatnya. Kita perlu mendengarkan nasihat beliau-beliau, sebagai pihak yang lebih mumpuni tentang ilmu Islam, terkait kriteria pemimpin yang baik dan benar menurut Islam.

Ketiga,
Memang bukanlah wewenang manusia untuk menghakimi kebaikan dan keburukan manusia lain. Terlebih jika ini berlaku antara muslim satu dengan muslim lainnya. Bukankah justru sebagai sesama muslim, adalah tugas kita menjaga aib saudara kita sendiri di hadapan manusia lainnya? Maka jika terkait memilih calon kepala daerah, rasanya tidaklah etis sesama muslim menjatuhkan muslim lainnya. Lain hal, jika konteks yang kita temui adalah persis seperti kondisi pilgub jakarta silam.

Maka sebaiknya, konten yang disinggung dalam kajian keislaman terkait memilih pemimpin daerah, bukanlah calon mana yang dipilih. Melainkan bagaimana cara men- scanning calon mana yang lebih berpihak pada kepentingan umat. Meskipun patut disadari, bahwa itu bukanlah pekerjaan yang ringan, mencerdaskan umat Islam.


Keempat,
Mengingat kebanyakan praktisi politik Indonesia memiliki andil juga dalam pemerintahan saat ini. Umat Islam bisa belajar dari kasus silam, dan mempelajari situasi politik negeri ini dari sikap para petinggi partai terhadap isu penistaan agama yang lalu. Kita bisa melihat posisi mereka sebagai pendukung penista agama ataukah sebagai pembela umat Islam. Setelah mengetahui sikap para politisi tersebut, umat Islam harusnya menjadikan hal tersebut sebagai referensi sikap politiknya ke depan. Mengingat para petinggi pemerintahan tersebut banyak yg merupakan 'aktivis' parpol tertentu.


Maka, perlulah kita menggunakan momentum berkumpulnya Umat Islam 212 sebagai titik tolak perubahan cara pandang politik praktis. Umat harus mulai peduli dan lebih aktif mencerdaskan diri dan keluarga nya terkait isu-isu politik seperti pilkada mendatang.

Jangan sampai kita kehilangan hikmah yg telah sempat kita temukan semasa perjuangan melawan penista agama di masa silam. Mari lebih bijak mengambil peran aktif sebagai masyarakan yg budiman dan muslim yg selalu berusaha' Kaaffah' termasuk pada kondisi terdekat saat ini (pilkada).

Mengutip ungkapan M. NATSIR,

"Islam beribadah akan dibiarkan. Islam berekonomi, akan diawasi. Islam berpolitik, akan dicabut seakar-akarnya."

Perlu kita sadari, betapa dahsyatnya efek kebaikan yang dapat terjadi jika Umat Islam sadar Politik. Bukankah kemenangan (Islam) perlu diupayakan?