Minggu, 25 Februari 2018

Mempunyai Impian itu Hak kita, dan Pengabulannya adalah Kuasa Allah

Pernah kah kalian melihat bahkan mungkin mengalami sendiri, orang lain yang menyangsikan atau bahkan sampai ikut men-jugde cita-cita dan harapan besar dirimu atau orang-orang terdekatmu? Bagaimana perasaan kalian saat terjadi hal itu? Mungkin sedih, kesal atau bahkan justru menjadi tidak lagi pe-de (percaya diri) dikarenakan penghakiman pihak lain terhadap segala upaya diri kita dalam menggapai impian tersebut. Padahal bukankah Cita-cita itu milik kita? Kita lah yang lebih tau sampai batas mana upaya tersebut sudah kita optimalkan.

Jujur, saya suka menulis. Apalagi menulis di saat banyak hal yang mengganggu pikiran, bahkan parahnya saya pernah menulis karena ingin membuat sindiran untuk seseorang (hehehe), rasanya ingin semua unek-unek itu tertuang dalam tulisan, hingga tak hanya jadi keluhan namun juga jadi renungan.

Ingat sekali, awal mula merasa sangat terbantu dengan menulis, saat kelas 4 SD (kalau tidak salah). Ada tragedi yang terjadi membuat saya tak henti menangis ketakutan, namun seketika air mata berhenti setelah semua curhatan itu tertuang di buku tulis.

Setelahnya mulailah SMP saya membuat blog dan meneruskan menulis segala kegelisahan saya di sana. Kebiasaan ini pun berlanjut hingga saya kuliah, tumpah ruah semua rasa tercurah di diary digital saya. Tanpa sadar, kebiasaan menulis ini mulai menumbuhkan benih-benih impian saya menjadi seorang wartawan/ reporter. Meskipun saat itu belum pernah ada kesempatan bagi saya untuk mendekati atau mendalami jurnalistik sebagai bagian dari profesi itu.

Setelah lulus kuliah, kesadaran ingin menjadi seorang reporter pun mulai mendapatkan peluangnya.
Terpampang info rekrutmen reporter untuk salah satu Media Massa Umat Islam. Tanpa ragu segera saya menyiapkan berkas dan syarat-syarat pendaftaran. Seleksi pun berjalan mulus bahkan setelah melewati wawancara dengan redaktur-redaktur Media Massa tersebut. Namun ternyata di tahap akhir seleksi, hasil baik belum berpihak pada saya.

Ke-geer-an yang sudah terlanjur saya rasakan itu, menjadi boomerang yang hantamannya cukup kuat membuat hati pecah menjadi kepingan-kepingan kekecewaan. Hal itu cukup membuat saya ‘down’ dan mulai merasa tidak percaya diri lagi untuk menjadi seorang wartawan.

Beberapa minggu setelahnya pun, tak lagi saya lirik berbagai info rekrutmen reporter dari Media Massa lainnya, mungkin ‘agak trauma’ bisa mewakili perasaan saya saat itu. Terlebih lagi, media massa yang membuka lowongan tersebut tak sesuai dengan visi saya menulis.

Saya ingin menulis tak hanya menjadi hobby, atau penghibur diri. Lebih dari itu, saya ingin agar menulis bisa menjadi sarana saya untuk menebar lebih banyak kebaikan, maka bergabung menjadi reporter untuk media ber-platform Islam sangat saya impikan saat itu. 

Qodarullah, gagalnya saya di seleksi reporter itu, sebenarnya menjadi renungan pribadi untuk diri ini. Membayangkan waktu yang akan sangat tidak jelas jadwal kerja sepanjang setahun (sampai menunggu diangkat menjadi pegawai tetap) sebagai seorang reporter lapangan, membuat saya berkaca bagaimanakah kabar ruhiyah ini nantinya.

Saya merenung, apakah secara mental saya sudah siap menjadi reporter yang seperti itu. Apalagi, jika membayangkan akan absen liqo berbulan-bulan, dikarenakan jadwal halaqoh dan meliput yang saling berbentrokan. Waah, belum pernah terbayangkan~

Lama, saya tak lagi seserius itu saat mencari peluang kebaikan melalui menulis. Kemudian saya mendapati info tentang sebuah pelatihan jurnalistik yang diadakan untuk muslim/ muslimah, bebas biaya dan disertai dengan banyak praktek. Meskipun ada seleksi saat pendaftaran pelatihan tersebut, Allah ternyata menjadikan saya lolos pelatihan tersebut, bahkan saya menjadi peserta yang hasil praktek menulis beritanya dinilai sebagai yang terbaik dari kurang lebih 19 peserta lainnya.

Takdir Allah lebih indah, setelah pelatihan tersebut, peluang saya mengembangkan kemampuan menulis saya makin berdatangan. Bahkan lingkungan komunitas kali ini, sangat sesuai dengan visi saya, yakni menulis untuk semakin menebar kebaikan. Alhamdulillah dengan jadwal yang lebih jelas daripada kerja sang reporter asli. Kok bisa yaa? Iya bisa, Allah yang mewujudkannya. Jadi, tetap husnudzon ya sahabat semua..