Senin, 21 Agustus 2017

Jangan Bodoh dan Ceroboh (Meskipun Hanya di Dunia Tak Nyata) !!

Katanya media yang sengaja dibuat untuk memperluas jaringan pertemanan. Tapi justru ada ketimpangan dari segala maksud baik diciptanya media sosial. Banyak kita temui, semakin meluasnya kebiasaan hidup pamer, kebiasaan mengomentari dan men-judge kehidupan orang lain, hingga pada kebiasaan menebar kebencian antar pengguna media sosial. Walaupun Jika memandang adil, banyak juga kita temui sisi positif dari adanya media sosial ini. Seperti sarana hiburan berbagi cerita lucu, cerita menginspirasi, sarana para psodusen barang-jasa mendekatkan diri dengan konsumennya, bahkan hingga bertemu dengan jodoh sekalipun.

Namun, banyak isu yang kini mulai membuka mata kita tentang betapa tidak sehatnya para netizen menggunakan fasilitas media sosial saat ini. Jadi teringat sebuah film Indie Korea (maklum, aku penyuka film korea ^^), judulnya SocialPhobia. Berkisah tentang seorang gadis yang sangat amat tertutup dengan dunia sosial di kehidupan nyata nya, namun menjadi sosok yang amat vokal mengomentari kehidupan sosial orang lain di dunia maya. Hingga suatu ketika dia bunuh diri setelah beberapa netizen mendesaknya untuk meminta maaf atas ujaran kebencian yang dia lontarkan melalui akun twitternya, diduga karena rasa takut dan tertekan atas desakan dan ujaran kebencian yang balik menimpa dirinya di dunia maya.

Betapa, ternyata psikologis manusia tak pernah berbeda antara di dunia nyata dan dunia maya. Maka tak sepatutnya kita sebagai, manusia yang dikaruniai rasa dan karsa, dengan brutal menghakimi segala kekeliruan yang terjadi di dunia maya. 


Tak pernah ada aturan yang melarang individu untuk mengutarakan pendapat di muka umum (publik). Namun secara nilai moral, kita telah lama diingatkan agar bertanggung jawab atas segala kebebasan berpendapat yang telah kita dapat. Dimana, segala cara pengutaraan pendapat kita, tetap memperhatikan tata krama dan sopan santun sehingga tidak mengganggu kebebasan berpendapat orang lain.

Memang, beberapa ada yang mengatakan bahwa media sosial itu adalah dunia maya, tak perlu ‘baper’ saat berinteraksi di dalamnya. Namun, jika menjadikan media sosial sebagai bagian dari gaya hidup kita, tempat kita berbagi hal-hal yang menurut kita positif di dalamnya, maka harusnya segala sikap menyimpang yang kita temui di dalamnya, harus dengan bijak kita tanggapi. Setiap orang berhak untuk menunjukkan keberpihakannya. Saat ada individu merasa bahwa ia memiliki patner di media sosial yang menggangu cara berpikirnya, kemudian dia memutuskan untuk meng-unfollow atau me-remove akun tersebut dari daftar pertemanannya, menurut saya pribadi itu bukanlah ‘baper’ dalam ber-media sosial. Itu adalah pilihan bijaknya. Ia merasa perlu membatasi diri, agar tidak terpancing menjadi brutal karena terus menerus merasa risih dengan statement yang di post oleh akun-akun ‘pengganggu’ tersebut. 

Ada alibi dari para penyaji pemikiran ‘nyeleneh’ di media sosial yang membuat statement, bahwa saat mereka memposting hal-hal yang mengumbar kebencian ataupun bertentangan dengan nilai-nilai norma, maka pengguna media sosial yang tidak suka disarankan mengambil solusi dengan tidak menonton ataupun mem-follow update akun mereka. Padahal sebagai seorang yang harusnya ber-tuhan, setiap ujaran yang terlontar dari mulut manusia, adalah hal yang akan selalu dimintai pertanggungjawaban, di akhirat (apa mereka mau nunggu sampai di akhirat dulu baru sadar, betapa penting bertanggungjawab akan setiap omongan yang keluar dari lisan masing-masing?) .

Sampai saat ini, rasa-rasanya para pemerhati med-sos belum bisa mengetahui dengan detail range usia berapa sajakah yang mem-follow akun-akun ‘nyeleneh’ tersebut. Benarkah follower-nya hanya para pengguna internet usia dewasa saja, yang dianggap sudah lebih bijak merespon segala konten tersebut. Ataukah justru follower mereka adalah pengguna usia anak-anak, yang memanipulasi identitas usia akun med-sos mereka, dimana para pengguna ini masih memiliki kebiasaan mudah meniru segala yang dilihat dan dikaguminya. Hal-hal yang memungkinkan ditiru kan tak hanya gaya hidup saja, tapi gaya bicara dalam menanggapi isu-isu yang ada juga tak bisa dipungkiri dari peluang untuk juga ditiru.

Baru-baru ini, terdengar adanya kasus bullying di media sosial juga terkait dengan pernyataan yang dirasa terlalu merendahkan seorang Pakar dan Pemerhati Anak tentang salah satu Korean Grup Idol yang akan diundang ke Indonesia sebagai pengisi acara. Tak hanya satu akun yang melakukan pem-bully-an terhadap beliau, dan ungkapan-ungkapan  yang dilontarkan pun sepertinya tak menhiraukan batas usia diantara pihak yang sedang berinteraksi.

Entahlah.. dengan segala fenomena judging hingga bullying di media sosial tersebut, tetap harus ada yang menyuarakan keberpihakan pada nilai dan norma. Jangan hanya diam dan merasa tak berkepentingan menyampaikan ada nya penyimpangan di lingkungan terdekat kita. Tentunya menyuarakannya juga dengan bijak dan bertanggung jawab. 

Semoga kita sudah beranjak menjadi netizen yang cerdas dan bijak dalam menggunakan media-sosial ya. Peduli itu Kewajiban, kebebasan bertanggung jawab  itu jadi Batasan.