Minggu, 04 Maret 2018

Fenomena Pindah Partai Jelang Pemilu 2019, Adakah yang Orientasinya Masih Lurus?

Keong yang suka berganti 'rumah'

Duh, emang ya kalau manusia itu sudah punya kemauan seringnya apapun akan diupayakannya. Termasuk untuk menjadi seorang politisi handal. Pilihan untuk akhirnya pindah ke partai yang 'lebih cocok di hati' pun, meski dicibir, tetap akan dilakoni. 

Begitulah kondisi nyata perpolitikan ibu pertiwi, banyak oknum yang mengandalkan berbagai cara 'memenangkan popularitas' di panggung ini.

Seperti kisah Mantan politisi senior PDIP,  Ratno Pintoyo yang pindah haluan ke Partai Nasdem. Ia langsung dipercaya untuk menjabat sebagai dewan pakar di sana, seperti dikutip www.radarjogja.com (1/3/2018)

Ia mengaku tidak bisa menyampaikan aspirasi lagi di PDIP. ‘’Jadi saya memutuskan keluar (dari PDIP),” kata Ratno.

Sebenarnya, pilihan untuk berpindah partai sepenuhnya adalah hak dari seorang politisi, tak ada yang berhak menghakimi keputusan tersebut. Namun pastinya, ada alasan kuat yang mendasari perpindahan sang politisi ke partai lain. Dan sebagai seorang pemilik hak suara di Pemilihan Umum (PEMILU) nanti, kita harusnya cerdas membaca maksud dibalik gelagat para pelaku politik praktis tersebut.

Fenomena politisi yang berubah haluan ini bisa terjadi dikarenakan dua alasan berikut ini:


Pertama, Partai Politik (Parpol) sudah tak sejalan dengan pandangan sang politisi.

Dinilai sudah tak kondusif untuk menyalurkan aspirasi, bisa menjadi salah satu alasan kepindahan seorang politisi dari suatu parpol. Termasuk fenomena Parpol yang terpecah, merupakan salah satu dari  contoh suasana yang tidak kondusif seperti dimaksud di atas. Sehingga sang politisi mencari bentuk baru atas visi politiknya, dengan bergabung bersama partai lain yang dianggap lebih 'pas di hati'.

Jika alasan ini yang mendominasi seorang politisi handal meninggalkan parpolnya, saya akan mengartikan kejadian ini sebagai himbauan terselubung kepada publik. Politisi tersebut ingin agar publik jangan lagi mendukung parpol itu yang sudah ditinggalkan tersebut. Bisa saja dengan vulgar saya katakan ada yang salah terhadap tingkah laku parpol itu, bisa jadi tujuannya atau kebijakan politiknya yang dianggap tidak lagi pro-rakyat.

Kedua, Sang Politisi merasa Parpol tersebut tak Prospek bagi Karirnya.

Mereka yang merasa tak mendapatkan bantuan yang signifikan, akan berusaha mencari kendaraan politik yang baru untuk mengantarkannya ke pentas PEMILU di masa mendatang. Ia akan berpindah, mencari Parpol yang lebih populer, lebih menjajikan dukungan bagi karirnya sebagai pelaku politik praktis.

Jika ternyata alasan ini yang mendominasi, wew kamu perlu hati-hati dengan politisi macam ini. Tandai dengan pulpen merah oknum tersebut, karena sejatinya mereka berada di politik bukan untuk rakyat melainkan untuk memperkaya diri mereka sendiri.

Darimana kita bisa mengambil kesimpulan tentang maksud sikap yang seperti ini? Mudah, lihat saja rekam jejak mereka di politik sebelumnya, bisa melalui berita online terpercaya di internet. Apakah beliau dulunya mempunyai kecondongan menjadi pengusung isu kebaikan, ataukah merupakan pribadi yang fenomenal dengan isu yang justru tidak berpihak pada kerakyatan. Atau untuk pribadi yang belum pernah menjadi anggota legislatif, bisa dicek apakah sebelum pindah parpol sudah pernah maju menjadi caleg di PEMILU silam. Jika pernah, besar kemungkinan mereka berpindah parpol karena maksud kedua ini.

Dari kedua alasan tersebut, bagi saya pribadi tidak ada keuntungannya jika dilihat dari sudut pandang pemilih. Justru jika mau cerdas memilih, carilah parpol yang kadernya loyal dan setia membesarkan 'rumah politiknya', carilah pribadi-pribadi yang berada di politik tanpa pernah terbesit untuk menuntut sesuatu terhadap partainya. Mereka yang bekerja dengan visi jauh ke depan untuk bangsa dan tidak pendek hanya seputar gaji atas kontribusinya.


Saya begitu merasa tergelitik menulis tentang hal ini setelah mendengar cerita Ibu Ledia Hanifa Amaliah di sesi Kopdar Sekolah Digital Humas DPP PKS Sabtu kemarin (3/3/2018). Beliau menyinggung tentang banyaknya anggota legislatif yang berharap mendapatkan sesuatu dari parpolnya dan pindah saat tidak mendapatkannya.

Saya sangat terngiang-ngiang sebuah penggalan statement beliau, saat perbincangan itu berlangsung.

"Saat itu doa saya yang paling kenceng adalah, PKS menang tapi bukan saya yang jadi (Anggota Legislatif terpilih)." Ujar beliau saat bercerita tentang pengalaman pertama nya menjadi Calon Anggota Legislatif (Caleg).

Ada ya parpol yang kadernya bisa berpikir begitu. Heran saya. Ungkapan seperti itu rasa-rasanya muncul bukan hanya karena mencari sensasi. Jika diresapi, pernyataan itu lahir dari kecintaannya terhadap parpol yang dipilihnya dan kesadaran penuh tentang tanggung jawab berat seorang Anggota Legislatif.


  • Nah, carilah wakil rakyat yang memiliki pribadi yang jujur dan paham akan tanggung jawabnya sebagai politisi. Agar bisa menjadi pemilih cerdas, yang terus berusaha dan akhirnya sedikit banyak mampu menerawang orientasi para politisi negerinya sendiri.