kisah berhikmah tentang Mita..
Sudah setahun lebih Mita
menjalani nya, amanah yang ternyata sudah Allah siapkan bagi Mita agar lebih
banyak berbenah diri, lebih hikmad lagi dalam ketaatan dan lebih bersegera
dalam menyambut peluang amal. Dan setelah penantian panjang itu, Mita yang berharap
agar penyerahan estafet itu sesegera mungkin dilakukan, karena ada kekhawatiran
Mita yang masih mempunyai beban akademik itu akan jadi zolim entah terhadap
amanah itu ataupun perihal akademiknya.
Sudah terdengar akan adanya
pergantian itu, Mita akan dengan senang hati segera memfokuskan diri
menyelesaikan amanah tersebut dan beralih ke amanah selanjutnya yakni akademik.
Tapi begitulah takdir, selalu Allah hadirkan untuk menguji niatan amal
hamba-Nya. Mita diuji, lagi, dengan kabar dipendingnya pergantian amanah itu.
Diuji, lagi, dengan niatan nya sesegera mungkin melepas amanah itu. Allah Maha
Tau segala yang disembunyikan hamba-Nya, bahkan yang ada di dalam hati kecil
sekalipun. Mita sedih, ia merasa ada ketidakadilan dalam penundaan pergantian itu,
tapi apa yang bisa ia lakukan? Bukan dia yang memilih amanah itu, tetapi Allah
lah yang memilihkan amanah itu untuknya.
Mita yang sedih pun menangis,
bukan, ia bukan lagi meratapi mengapa harus putusan terburuk - yang ia
sebenarnya telah duga- itu yang terjadi, tapi ia sedang memutar otak bagaimana
meneruskan sisa amanah yang belum terselesaikan itu hingga Allah menjadikannya
kemudian berpindah pundak. Ia merasa banyak yang tak seimbang dalam dirinya.
Mita merasakan lagi yang dikhawatirkan sahabat Abu Bakar Ash-shiddiq sehingga
kemudian beliau berdoa kepada Allah,
“Ya
Allah, Engkau lebih mengetahui keadaan diriku daripada diriku sendiri dan aku
lebih mengetahui keadaan diriku daripada mereka yang memujiku. Ya Allah,
jadikanlah diriku lebih baik dari yang mereka sangkakan, ampunilah aku terhadap
apa yang mereka tidak ketahui dariku, dan janganlah menyiksaku dengan perkataan
mereka”
Mita juga sedang berpikir keras,
bagaimana agar dia bisa tetap menyelesaikan akademiknya tepat pada waktunya
tanpa kemudian terlihat mengabaikan amanah nya yang masih dia tanggung itu. Berat
dan sesak, itulah yang dirasakan dalam sanubari nya, tapi begitulah manusia
dengan mudahnya dibuat berpaling dari segala takdir terbaik Rabb-nya,
dikarenakan kekhawatiran yang bersifat duniawi dan rencanya yang tak lebih
canggih dari Kuasa Allahu Rabbuna. Ia sedang mengarahkan segala konsentrasi
otak dan hatinya agar sesuai dengan mau-Nya Allah. Mita sedang mencerna, terus
berusaha mencerna, apa sebenarnya maksud Allah menghadirkan segala yang nampak
seperti ujian itu kehadapannya.
“Subhanallah.. Subhanallah..
Subhanallah..Subhanallah..”
“Maha Suci Allah.. Maha Suci
Allah.. Maha Suci Allah.. Maha Suci Allah..”
“Maha Suci Allah dari segala
kesalahan.. Maha Suci Allah dari ketidaktelitian perhitungan atas takdir
hamba-Nya.. Maha Suci Allah dari kekeliruan atas setiap detail urusan
hamba-Nya.. Maha Suci Allah..”
Ya.. Mita menyimpulkan, bahwa kita hanya perlu
(selalu) meyakini-Nya. Meyakini bahwa tak akan pernah ada kesalahan dari setiap
perhitungan Allah, dari setiap keputusan Allah, dari setiap takdir anak manusia
yang Allah tentukan. Wahai hamba-Nya yang selalu berusaha taat, kamu hanya
perlu (selalu) menyakini-Nya, tanpa pernah berhenti, sejenakpun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar